Menanti Part 2
Part 2 : Tersentuh Cinta
Mentari telah menampakan sinarnya, memberi kehangatan kepada makhluk bumi. Sudah seminggu sejak pernikahan Riri. Tak ada lagi yang menemaniku bercerita, karena Riri diboyong oleh Mas Riyan ke rumahnya.
Beruntung sekali dia mendapatkan pasangan seperti Mas Riyan. Selain tampan, soleh, baik, dan mandiri. Memang laki-laki idaman. Semoga menjadi keluarga sakinah mawadah warahmah. Kita skip dulu tentang Riri.
Hari ini pertama masuk kuliah setelah liburan semester. Sengaja berangkat lebih pagi, agar tidak telat. Setelah sampai di kampus, rasanya ada yang berbeda. Padahal libur hanya sebulan, tapi rasanya lama sekali. Tanaman banyak yang tumbuh, pohon semakin rindang. Rasanya lebih hijau.
Jam menunjukan pukul 09.00, sedangkan kuliah pertama masuk pukul 10.00. Tak ingin membuang waktu, sambil menunggu aku akan melaksanakan salat duha dulu. Dalam hadits dikatakan :
Dari Nu’aim bin Hammar Al Ghathafani, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Allah Ta’ala berfirman: Wahai anak Adam, janganlah engkau tinggalkan empat raka’at shalat di awal siang (di waktu Dhuha). Maka itu akan mencukupimu di akhir siang” (HR. Tirmidzi no. 475, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami’ no. 4342).
Aku berangkat ke masjid kampus. Ternyata di sana masih lengang, mungkin karena baru hari pertama kampus aktif kembali. Ku ambil wudu dan langsung melaksankan salat sunah duha. Setelah 4 rakaat shalat, aku berzikir dan membaca surah al-Waqiah. Setelah selesai, aku langsung melipat mukena.
Saat sedang melipat, aku mendengar suara seseorang di balik hijab (tempat jamaah laki-laki) sedang membaca al-Quran. Surah ar-Rahman, itulah yang dibacanya. Suaranya merdu, bacaannya fasih, dan membuat hati bergetar. Bahagia rasanya jika nanti ketika menikah dibacakan surah ar-Rahman, so sweet. Ah apaan sih, kenapa berpikir seperti itu.
Tidak, aku tidak boleh jatuh cinta. Tidak ingin kembali merasakan trauma seperti beberapa tahun lalu.
***
Saat itu aku masih SMA, masa-masa di mana perasaan sedang bergelora. Aku dekat dengan seorang laki-laki bernama Ari. Dia adalah siswa dari sekolah tetangga. Wajahnya tampan, baik, pengertian, pokoknya dia populer di antara semua wanita di sekolahnya. Hampir semua anak perempuan di sekolahnya mengejar-ngejar, tetapi entah kenapa aku yang dipilihnya.
Setiap hari Ari mengantar-jemputku. Walau tidak sampai rumah, hanya sampai gang depan. Bahaya kalau sampai rumah, karena orang tua tidak mengijinkan untuk pacaran atau dekat dengan laki-laki yang bukan mahram. Haram katanya. Ah terserahlah apa yang mereka katakan, di sini aku yang menjalani, selama tidak melakukan yang di larang agama tidak masalah kan?
Sepandai-pandainya orang menyembunyikan bangkai, pasti akan tercium juga baunya. Begitu pun hubunganku dengan Ari. Yang pertama mengetahui adalah Riri. Ah sulit sekali menyembunyikan sesuatu dari dia, entah darimana dia tahu hubungan kami. Saat itu aku baru pulang jalan dengan Ari, ternyata Riri sudah ada di kamarku.
"Ra, apa benar kamu memiliki hubungan dengan Ari dari sekolah sebelah?" Tanya Riri tiba-tiba.
"Memangnya kenapa, Ri? Tidak ada masalah kan?" Aku tanya balik.
"Ra, aku tidak setuju kamu berhubungan dengan dia." Katanya.
"Kenapa?" Tanyaku.
"Karena dia bukan orang baik-baik. Aku tidak mau kamu kenapa-napa, Ra." Jawabnya, terlihat dari matanya sebuah kekhawatiran.
"Dia baik kok. Lagian kamu kan gak kenal sama dia. Kalau kamu tidak suka aku dekat dengan laki-laki, setidaknya jangan menjelek-jelekan." Bentakku.
"Terserah, yang penting aku sudah peringatkan kamu. Kalau ada apa-apa, jangan salahkan aku." Dia langsung pergi.
Apa-apaan sih tuh anak. Kok tiba-tiba menjelek-jelekkan Ari. Memangnya dia kenal dengan Ari? Sok tahu. Ah biarlah, mungkin dia iri karena tidak memiliki pacar. Selama dia tidak bilang kepada orang tuaku, masih aman.
Suatu hari ketika pulang sekolah, Ari menjemputku. Katanya ingin membawaku ke rumahnya dan mengenalkan kepada orang tuanya. Senang sekali rasanya. Bukankah seorang laki-laki yang mengenalkan pacarnya kepada orang tua, dia berniat serius?
Setelah sampai, aku dipersilakan masuk oleh Ari. Tapi kok sepi, kemana orangtuanya.
"Hmmm, Ri. Di mana orangtuamu?" Tanyaku.
"Mereka lagi di rumah Bude, sebentar lagi pulang kok. Kamu tunggu di kamarku saja ya." Katanya.
Aku masuk ke kamarnya. Dia pamit untuk keluar dulu. Kamarnya begitu rapi dan wangi. Ukurannya cukup besar dan luas. Ada sebuah tempat tidur yang kira-kira cukup menampung 4 orang, mungkin sengaja karena setahuku teman-temannya suka menginap. Lemari tiga pintu, rak buku, televisi, dan beberapa pajangan lain. Aku berkeliling kamar, ah wangi yang ku suka.
Sudah lama aku menunggu, tapi dia belum datang. Kemana dia? Aku mulai bosan. Tiba-tiba dia datang dan sudah berganti pakaian. Bukankah ini kamarnya? Lalu dia berganti dimana? Entahlah, yang penting aku sudah tidak bosan.
"Maaf ya nunggu lama. Tadi Ibu nelpon." Katanya.
"Mereka sudah pulang?" Tanyaku.
"Belum. Katanya baru pulang nanti malam." Jawabnya.
"Kalau gitu, aku pulang saja. Kapan-kapan ke sini lagi ketika orang tuamu ada di rumah." Kataku.
"Kenapa buru-buru, sayang? Mumpung berdua, bagaimana jika kita nikmati saat ini?" Aku tidak mengerti apa yang dia maksud.
"Maksudnya apa?" Tanyaku.
Tanpa menjawab, dia langsung mengunci pintu.
"Kenapa pintunya dikunci?" Tanyaku.
"Agar tidak ada yang mengganggu kita, sayang." Jawabnya.
Dia mendekat. Tiba-tiba aku merasa ketakutan, apa yang akan dia lakukan? Dia buka baju yang dikenakan, dan semakin mendekat ke arahku. Jantungku berdebar sangat cepat, badanku bergetar, keringat bercucuran. Aku mencoba berlari, dia mengejar dan menarikku ke atas tempat tidur. Takut.
'Ya Tuhan. Apa yang harus aku lakukan? Aku takut. Beri aku pertolongan-Mu.' Aku terus berdoa dalam hati.
Tidak terasa, air mata pun mengalir. Dia semakin mendekat dan menarik bajuku, aku mencoba berontak dan terus mempertahankan. Entah apa yang merasukinya, semakin aku berontak semakin besar kekuatannya. Tiba-tiba,
BRUK!
Pintu didobrak dari luar, seseorang masuk dan Ari belum menyadarinya. Laki-laki itu menarik Ari dan memukulinya. Aku menjerit, takut Ari kenapa-napa. Kelihatannya Ari takut sekali kepadanya. Setelah puas memukuli, dia menarikku ke luar kamar.
"Betulkan pakaianmu, ku antar pulang!" Katanya.
Tanpa menjawab, aku langsung membenarkan pakaian. Dia berjalan, aku ikuti dari belakang dan masuk mobil. Tanpa banyak bicara, dia menjalankan mobilnya. Tidak berapa lama, sampailah kami di depan rumah dan turun. Di depan ada orangtuaku, aku ketakutan kalau laki-laki ini akan menceritakan semuanya.
"Assalamu'alaikum," laki-laki itu mengucapkan salam.
"Wa'alaikumussalam," jawab orangtuaku. "Eh Nak Riyan, silahkan masuk Nak. Kok bisa sama Rara?" Tanya ibu. Kok Ibu kenal dengan laki-laki itu.
"Tadi saya bertemu Rara di depan cafe dekat kantor, Bu. Rara baru selesai berkumpul dengan teman-temannya, tapi sepertinya temannya sibuk, jadi tidak bisa mengantar. Untungnya hari ini saya pulang lebih cepat, jadi bisa bertemu dan mengantarnya pulang." Penjelasannya.
Syukurkah, dia tidak mengatakan semuanya.
"Bener Ra?" tanya ayah.
"I... Iya, Yah." jawabku gugup.
"Ya sudah, kamu ganti pakaian gih!" Perintah Ibu.
Aku langsung masuk ke kamar, tanpa mengganti pakaian langsung menangis. Kenapa dia melakukan hal seperti itu? Bukankah jika laki-laki menyayangi dan mencintai seorang wanita dengan tulus, maka dia akan menjaga kehormatan wanitanya? Tetapi kenapa, kenapa dia malah ingin menghancurkan kehormatanku?
Tiba-tiba pintu diketuk. Enggan sekali aku membuka. Karena mereka akan tahu, kalau aku sedang menangis.
"Ra ini aku, Riri."
Ah ternyata Riri. Ku buka pintu, dan kudapati gadis itu menatapku dengan khawatir. Ku raih tangannya, dan ku ajak masuk. Kami duduk di pinggir ranjang.
"Ra, Mas Riyan sudah cerita semuanya." Kata Riri.
Mas Riyan? Siapa dia? Aku tidak mengenalnya.
"Oh iya, mungkin kamu belum mengenalnya. Dia itu yang tadi mengantarmu pulang." Riri menjelaskan.
"Tapi, dari mana dia tahu kalau aku di sana?" Tanyaku.
Ternyata Riri yang menceritakan hubunganku dengan Ari. Mas Riyan sendiri adalah sepupu jauh Ari. Ketika orangtuaku menghubungi Riri menanyakan keberadaanku, dia meminta bantuan kepada Mas Riyan untuk mencariku.
"Maafkan aku, Ri." Aku memeluknya dan tangisku tumah kembali.
Setelah kejadian tempo hari, aku tidak pernah lagi bertemu dengan Ari. Bahkan dia pun tidak lagi datang menjemput dan mengantarku. Kecewa, itulah yang ku rasakan padanya.
Hari ini sepulang sekolah, Riri memintaku mengantarnya untuk mendaftar ke sebuah Universitas di kotaku. Karena sekolah kami berbeda, dia akan menjemputku ke sekolah dan aku diminta menunggu di depan gerbang.
Ternyata hari ini kelas berakhir lebih cepat dari biasanya. Sejam lagi Riri baru menjemput, aku harus mengerjakan sesuatu sambil menunggu. Saat berjalan menuju gerbang, tiba-tiba ada seseorang yang menarik tanganku.
"Ra!" Panggilnya. Aku menoleh.
"Ari!" Aku terkejut. Kenapa dia ada di sini?
"Ra, aku mau bicara." Katanya.
Aku takut, jika kejadian lalu akan terulang lagi. Sepertinya dia menyadari ketakutanku.
"Ra, aku minta maaf. Aku telah menyadari kesalahanku. Tujuanku menemuimu, ingin menebus kesalahanku. Kamu maukan bicara denganku?"
Aku mengangguk.
Dia mengajakku ke sebuah cafe terdekat. Kami duduk dipojok.
"Kamu mau pesan apa?" Tanyanya. "Karena selama ini selalu kamu yang bayar, jadi ijinkan hari ini aku yang traktir." Lanjutnya.
"Aku pesan es teh manis saja." Jawabku.
"Oke."
"Oh ya, aku mau ke toilet dulu." Kataku. Dia mengangguk.
Aku pergi ke toilet. Setelah beberapa lama, aku kembali, ternyata pesanan sudah ada. Aku langsung duduk kembali.
"Ra, aku mau minta maaf. Saat itu aku khilaf. Aku janji tidak akan mengulangi lagi." Katanya.
Ku lihat di matanya ada rona kesedihan, kelihatannya dia tulus. Aku tidak bisa memungkiri perasaanku yang masih menyayanginya. Jadi ku maafkan dia.
"Terima kasih, Ra. Semoga ke depannya hubungan kita lebih baik." Katanya. Aku mengangguk.
"Ya sudah, minum dulu. Nanti ku antar pulang."
Aku langsung minum dan menghabiskan minuman. Tapi kok, rasanya pusing sekali.
"Ra, kamu kenapa?" Tanya Ari.
"Aku pusing." Jawabku.
Kepalaku sakit sekali, sangat berat, mata rasanya sudah tidak kuat untuk ku buka, dan semuanya gelap.
Aku terbangun. Ku kerjapkan mata. Di mana aku? Kenapa gelap sekali, lembap dan bau, seperti sebuah tempat yang sudah lama tidak dihuni. Apa yang terjadi? Aku ingat, terakhir berada di cafe dengan Ari dan setelah minum, tiba-tiba pusing. Aku meraba-raba, mencari pintu atau jendela. Saat sudah sampai di pintu, aku mendengar orang sedang berbincang.
"Kok lo tega sih Ri, dia kan pacar lo." Kata seorang laki-laki.
"Gue cuma manfaatin dia. Lumayan kan setiap hari makan dibayarin, bensin dibelikan, apapun yang diinginkan dikabulkan. Kan lumayan, gak perlu keluar uang." Jawab yang lain. Sepertinya aku mengenal suaranya.
"Terus yang belum lo dapetin dari dia apa?" Tanya yang satu lagi.
"Lo tahu kan, waktu di rumah gue gagal gara-gara si Riyan datang. Dan kali ini gue pasti berhasil." Katanya.
"Sial. Tega lo, Ri." Jawab seorang yang lain.
"Hahaha." Mereka tertawa bersama.
Ku intip di lubang kunci, ternyata dia Ari. Apa yang dia inginkan? Kenapa melakukan ini?
"Eh, gue mau beli minuman. Lo ikut gak?" Tanya Ari.
"Ikutlah. Tapi gak apa-apa dia ditinggal?" Tanya yang lain.
"Biarkan saja, lagian kan ini jauh dari rumah warga, jadi tidak akan ada yang bisa menolongnya." Kata Ari.
Mereka pergi sambil tertawa terbahak-bahak.
Mumpung mereka tidak ada, aku harus kabur dari sini. Tapi bagaimana caranya? Aku harus mencari sesuatu yang bisa membantu. Aku cari ke sekeliling ruangan, dan mendapati sebuah balok. Aku ambil dan coba memukul pintu. Tapi tidak berhasil.
Aku raba lagi dinding. Dan menemukan pintu lagi, ternyata ada ruangan lain. Ada sinar yang masuk dari seberang pintu. Aku dekati dan di sana ada kaca yang tidak terlalu tinggi. Aku ambil kembali balok dan ku pecahkan kaca. Aku berusaha untuk keluar. Meskipun dengan susah payah, akhirnya aku berhasil. Kakiku tergores pecahan kaca, perih rasanya. Tapi tak seperih hati ini.
Aku berlari dan berlari di bawah sinar rembulan. Meskipun dengan terpincang-pincang, aku harus tetap berlari. Tiba-tiba aku melihat siluet dua orang dari kejauhan, akhirnya bersembunyi di semak-semak. Ternyata itu Ari dan temannya. Mereka berjalan sempoyongan, sepertinya sedang mabuk. Setelah mereka jauh, aku berlari kembali.
Setelah beberapa saat, akhirnya aku menemukan jalan raya. Aku bersyukur. Aku terus berjalan, tidak jauh dari sana ada sebuah masjid. Ku ambil air wudu, dan menunaikan salat. Kepalaku pusing, perutku mual, ah iya aku belum makan sejak siang. Aku berbaring, semoga saja bisa menghilangkan pusing. Tiba-tiba ada seseorang yang membangunkanku.
"Mbak, bangun. Sudah subuh, mari salat berjamaah." Kata seorang wanita.
"Ah, i... Iya." Aku berusaha bangun dan ambil wudu. Syukurlah sudah tidak pusing lagi.
Setelah ambil wudu, aku kembali ke dalam masjid dan salat berjamaah. Setelah salat aku berzikir dan berdoa meminta ampunan kepada-Nya.
'Ya allah, ampuni hamba. Selama ini hamba telah melanggar laranganmu, walaupun orang tua telah mengingatkan, aku tetap melakukan. Maafkan aku Ayah Ibu'. Aku menangis.
Setelah terang, aku keluar masjid dan melanjutkan perjalanan. Semoga saja ada orang yang bisa dimintai pertolongan. Aku sudah tidak kuat untuk berjalan, lambungku rasanya sakit sekali. Aku duduk di pinggir jalan, karena sudah tidak kuat untuk bangun.
"Ra, akhirnya aku menemukanmu." Riri menghampiriku.
Tanpa menjawab, aku langsung memeluknya dan menangis.
"Sudah Ra. Ayo pulang, orang tuamu sudah menunggu." Riri menggandeng tanganku, dan aku mengangguk.
Kami naik ke mobil Mas Riyan. Kenapa Mas Riyan lagi, apakah mereka memiliki hubungan? Entahlah, itu urusan mereka.
Setelah sampai di rumah, aku menghambur ke pelukan ibu dan menangis.
"Maafkan Rara, Bu. Rara tidak mendengarkan apa yang ibu dan ayah katakan."
"Iya, Nak. Tidak apa-apa. Yang penting kamu selamat." Kata ibu. Ku eratkan pelukan.
Ibu meminta Riri mengajakku ke kamar dan beristirahat. Dan Mas Riyan ijin kembali ke kantor, karena ada urusan.
"Ri!" Panggilku.
"Iya." Jawabnya.
"Maafkan aku, karena tidak mendengarkan peringatanmu." Kataku.
"Iya, Ra. Tapi bagaimana bisa kamu hilang? Bukankah aku meminta kamu menunggu di depan gerbang sekolah?" Tanya Riri.
Aku ceritakan semuanya, dari awal sampai akhir tanpa terlewat. Riri memelukku, ku tumpahkan semua melalui air mata.
Butuh waktu untuk menyembuhkan luka ini. Bukan luka di fisik, tapi psikis. Aku mengalami trauma. Sejak kejadian itu, aku tidak mau lagi dekat dengan laki-laki yang bukan mahram, apalagi menjalin sebuah hubungan.
***
Mengingat itu semua, rasanya hati ini perih. Bukannya tak mau membuka hati, tapi takut kejadian lalu terulang kembali. Aku hanya ingin menunggu seseorang yang benar-benar serius datang kepada ayah dan memintaku padanya.
Namun hari ini, sebuah suara dapat menggetarkan hati. Bagaimana bisa? Bahkan aku belum tahu siapa dia, melihatnya pun belum pernah. Tapi kenapa hati ini seakan merasakan getaran yang tidak biasa. Tidak, ini hanya sebuah perasaan kagum, tidak lebih. Aku tidak boleh terbawa perasaan.
"TIARA KHALIZA!" Aku terkejut, seseorang memanggil namaku. Ku menoleh ke arah suara. Ternyata itu Ratna, sahabatku di kelas dan sebuah Lembaga Dakwah Kampus. Dia mendekat.
"Kok melamun? Dari tadi aku panggil tidak menyahut. Kenapa?" Tanyanya.
"Eh, gak kenapa-napa kok, Rat." Jawabku.
"Ah aku tahu. Kamu melamun karena terpesona dengan suara ikhwan yang tadi kan?" Tanyanya menyelidik.
"Apa sih?" Aku ngeles, tidak mau dia tahu. Tapi bukan Ratna namanya kalau tidak bisa menebak.
"Ra, aku kenal kamu sudah lama. Jadi aku tahu apa yang kamu pikirkan. Kamu jatuh cinta ya?" Tanyanya menggoda.
"Sudahlah, Rat. Kamu kan tahu keadaanku. Aku tidan mau terburu-buru jatuh cinta, takutnya mendatangkan luka." Jawabku.
"Ra, cinta itu murni dan suci datangnya dari Allah. Saat cinta telah menyentuh hati, kita tidak bisa menolaknya. Yang perlu dilakukan adalah menjaga dan menjadikan cinta tetap terberkahi dan tidak ternodai. Bukankah jatuh cinta tidak harus pacaran? Cukup kamu mendoakan di sepertiga malam, dan minta kepada sang pemilik cinta." Ratna menjelaskan.
Benar juga apa yang Ratna katakan. Jatuh cinta tidak harus pacaran, karena itu bisa menodai kemurnian dan kesucian cinta. Pintar juga nih anak. Aku tidak akan men-jugde mereka yang saat ini masih menganut paham pacaranisme, karena dulu aku pernah ada diposisi mereka. Namun aku tidak ingin masuk ke lubang yang sama. Semoga tidak ada yang mengalami hal sama sepertiku.
"Ya udah, Ra. Ayo kita ke kelas, sebentar lagi masuk! Gak lucu kan hari pertama kuliah telat gara-gara memikirkan ikhwan." Ajak Ratna sambil mengerlingkan mata.
"Ih apaan sih, Rat. Yang gak lucu itu kamu." Jawabku.
Kami berjalan bersama menuju kelas. Ah, aku masih penasaran dengan pemilik suara merdu tadi. Jika Allah menakdirkan, mungkin aku akan mendengarnya lagi. Namun jika tidak, biarlah. Aku tidak perlu berharap terlalu dalam, takutnya kecewa.
Bersambung...
#OneDayOnePost
#OdopBatch7
#GrupKairo
#TantanganPekan8
Keren mba ashima:)
BalasHapusSemakin seru kakak, ceritanya inspirasi sekali
BalasHapus#semangat
Bagus kak...
BalasHapusSemangat terus mbak...
BalasHapusBagus tulisannya ^^
BalasHapusSeru Kak, ada adegan tegangnya
BalasHapusseruuu, ayo lanjutkan hehehe
BalasHapus