Bangga Jadi Santri
Aku bangga jadi santri
Bangga pernah tinggal di pesantren
Bangga belajar ilmu agama
Bangga belajar kitab kuning
Bangga belajar kitab kontemporer
Ya aku bangga dengan apa yang aku lakukan sebagai santri
—Ashima Meilla Dz.
Santri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti orang yang mendalami agama islam, orang yang beribadat dengan sungguh-sungguh atau orang saleh. Secara umum santri adalah sebutan bagi seseorang yang mengikuti pendidikan agama Islam di pesantren, biasanya menetap di tempat tersebut hingga pendidikannya selesai. Sedangkan menurut bahasa, istilah santri berasal dari bahasa Sanskerta, "shastri" yang memiliki akar kata yang sama dengan kata sastra berarti kitab suci, agama dan pengetahuan. (wikipedia.org)
Bangga, itulah yang dirasakan. Meski tak lama, namun setidaknya pernah menjadi santri dan tinggal di pesantren. Zaman dulu, santri identik dengan pesantren. Seiring berjalannya waktu, tidak lagi. Siapapun yang belajar ilmu agama, bisa disebut sebagai santri.
Aku belajar mengaji sejak usia tiga tahun, diajarkan oleh ibu menggunakan klitab "turutan" atau “Baghdadiyah”. Secara bahasa, Turutan berakar kata dari tutur-urutan yang dilafalkan menjadi Turutan. Pertama, disebut tutur karena titik tekan belajar aksara Arab dengan metode Baghdadiyah ialah benar membunyikan dan melafalkan huruf: bukan sekedar tahu bacaan huruf. Selain itu disebut urutan karena materinya tersistematisasi dari mulai huruf per huruf, vokal per vokal, dan seterusnya. Murid dituntut benar melalui tahapan-tahapan belajar dan tidak boleh loncat sekalipun sudah kenal bacaan huruf. (alif.id)
Buku/Kitab Turutan |
Metode ini sangat bagus untuk anak atau orang yang pertama belajar atau mengenal al-Quran. Karena di sini kita bisa belajar huruf per huruf, bunyi huruf, makharijul huruf (tempat keluar huruf), syakal atau tanda baca (fatha, kasro, dhummmah, fathain , kasrotain , dhommatain, sukun , tasydid, tanda panjang), dan sebagainya.
Tahun 2003, tepatnya saat kelas 3 MI mulai mengaji di salah satu kiai di kampung. Setahun mengaji di rumah oleh istri kiai hanya mengaji al-Qur'an dan hafalan dari mulai bacaan wudu, salat, juga segala hal yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari. Tahun 2004 mulai mengaji kitab kuning, dan pindah di masjid diajarkan oleh kiai.
Tahun 2007 dan lulus MI, aku masuk ke salah satu MTs dan tinggal di rumah nenek. Sudah pasti mengaji pun pindah. Aku mengaji di salah seorang adik nenek sampai lulus MA, kurang lebih enam tahun.
Dari MI sampai MA, aku memang mengaji tetapi tidak tinggal di pesantren. Saat MI, sore hari berangkat mengaji dan tidur di rumah kiai, pagi hari setelah mengaji pulang ke rumah untuk bersiap sekolah. Begitupun saat MTs sampai MA, tidur di tempat mengaji dan pagi pulang ke rumah nenek.
Di daerahku yang seperti ini disebut santri kalong. Yaitu anak atau santri yang belajar ilmu agama di sebuah pesantren, namun tidak tinggal di sana.
Setelah lulus MA tahun 2013, aku masuk kuliah di salah satu Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Bandung. Awalnya berniat untuk ngekos, namun ternyata tidak diperbolehkan oleh nenek dan beberapa saudara. Dengan alasan takut terjadi sesuatu, karena saat itu memang marak pergaulan bebas dan ada beberapa perempuan yang hamil di luar nikah. Akhirnya aku ikuti keinginan mereka untuk tinggal di pesantren.
Pesantren tempat aku tinggal merupakan salah satu pesantren modern di Bandung. Karena hampir 99% santri adalah mahasiswa, maka waktu libur pun menyesuaikan dengan kampus. Para santri pun diberikan waktu fleksibel untuk mengaji. Ketika ada di pesantren diharuskan mengaji, namun ketika sedang kuliah atau ada tugas yang tidak bisa ditinggalkan, diperbolehkan untuk tidak mengaji asalkan ada ijin kepada pengurus asrama.
Waktu mengaji sudah ditetapkan yaitu pagi setelah subuh, sore setelah asar, magrib dan isya. Kitab yang dikaji tidak hanya kitab kuning, tapi juga ada kitab kontemporer. Selain itu ada juga Unit Kegiatan Santri (UKS), sebagai pembelajaran tambahan. Di sini ada beberapa UKS dan para santri bisa memilih sesuai minat dan bakat masing-masing.
Sayangnya aku tidak sepenuhnya mengabdikan diri di pesantren, karena fokus kuliah. Akhirnya ada beberapa kegiatan pesantren yang terlewatkan. Menyesal, pasti. Padahal banyak hal yang bisa didapatkan di pesantren. Tapi mau bagaimana lagi, semua telah berlalu.
Namun aku bangga pernah menjadi santri. Meskipun sebagai santri kalong atau santri yang lebih banyak di kampus.
Selamat Hari Santri Nasional, 22 Oktober 2019
Aku Bangga Jadi Santri
Dari Santri untuk Negeri
Sukabumi, 23 Oktober 2019
#OneDayOnePost
#OdopBatch7
#GrupKairo
Komentar
Posting Komentar