Fenomena Membeli Suara Rakyat

blokbojonegoro.com
Pada tanggal 17 November 2019 lalu, Kabupaten Sukabumi melaksanakan Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) serentak. Kurang lebih ada 240 Desa. Salah satunya yaitu di Kecamatan Curugkembar. Di sini ada tiga Desa yang melaksanakan pemilihan, karena Desa lain sudah melaksanakan tahun-tahun sebelumnya.

Awalnya baik-baik saja dan tidak ada yang ganjil. Meskipun ada beberapa kejadian seperti para pemuda mendemo Kades yang sedang menjabat. Alasannya ada beberapa hal, termasuk soal Bumdes.

Ternyata kejadian setiap Pilkades terulang kembali. Mungkin disetiap daerah berbeda, ada kejadian serupa, ada pula yang tidak. Sebetulnya tergantung calonnya ingin menang dengan cara apa. Jujur atau sebaliknya. Lalu kejadian apa itu?

Yaitu Fenomena Membeli Suara Rakyat.

Kenapa disebut membeli suara rakyat?

Saat kampanye, si calon Kades dan tim suksesnya akan memberi uang atau barang kepada masyarakat, dengan catatan harus memilih dirinya. Kemudian sehari sebelum pemilihan atau pagi di hari pemilihan, mereka akan melancarkan aksinya kembali untuk membagi-bagikan uang atau biasa disebut sebagai "serangan fajar". Biasanya yang jadi sasaran mereka adalah masyarakat awam. Kenapa? Karena masyarakat awam ini sangat mudah dipengaruhi dan mereka akan berpikir bahwa dia adalah calon pemimpin yang baik, dan nanti jika terpilih pasti akan lebih memerhatikan masyarakat. Tanpa mereka tahu, dibalik itu ada permainan politik. 

Mereka rela menjual sawah, kebun, bahkan meminjam ke rentenir atau bank asalkan tujuannya berhasil dicapai. Tidak peduli seberapa banyak utang yang dimiliki, yang pasti ketika terpilih sebagai Kades maka uang itu akan kembali dan utang terbayar. Dari mana uang tersebut? Tanpa dijelaskan pun pasti tahu darimana asalnya.

Ketika masyarakat diberi uang dan harus memilih si calon, ini sama saja dengan membeli suara rakyat. Calon ini akan memberikan janji-janji manis yang entah apakah akan terbukti atau tidak. Karena banyak kejadian janji calon hanyalah tinggal janji, tanpa bukti yang berarti.

Biasanya masyarakat diberi uang 50-100ribu per orang. Mari kita coba hitung.

Jika satu periode ada 6 tahun. Maka 100.000 : 6 = 17.000 per tahun.
Jika satu tahun ada 12 bulan. 12 x 6 = 72 bulan. Maka 100.000 : 72 = 1.400 per bulan.
Dan jika satu bulan ada 30 / 31 hari, maka satu tahun ada 365 hari. 365 x 6 = 2190 hari. Berarti 100.000 : 2190 = 46 rupiah.

Bayangkan, masyarakat hanya dibayar 46 rupiah per hari untuk enam tahun. Luar biasa kan? Apakah cukup untuk kebutuhan? Entahlah.

Namun sekarang, sudah banyak masyarakat yang pintar dan mengerti. Sehingga mereka tidak peduli dengan adanya fenomena tersebut, dan lebih mengikuti hati nurani. Pernah ada masyarakat yang mengatakan begini "kalau ada yang ngasih, ya terima saja. Yang penting kan bukan kita yang minta, dikasih masa ditolak. Kalau soal memilih, ya gimana hati kita saja".

Ya, sudah banyak yang tidak mempan hanya diiming-imingi uang seratus ribu. Karena bagi mereka, memiliki pemimpin yang jujur lebih dibutuhkan daripada mereka yang memberikan janji namun tidak terbukti.

Jika dilihat lagi, sebenarnya tim sukses si calon banyak yang berpendidikan bahkan sarjana, ada juga yang bertitel kiyai. Namun mereka mendukung dengan tindakan ini. Karena apa? Menurut penelitian, salah satunya karena mereka dijanjikan akan mendapatkan sebuah jabatan.

Masyarakat awam akan diiming-imingi dengan uang. Sedangkan orang berpendidikan atau berpengaruh di kampungnya diiming-imingi dengan jabatan. Biasanya inilah yang menjadi senjata andalan bagi mereka yang benar-benar ingin dan harus menang. Entah apa tujuannya.

Katanya jaman sekarang untuk jadi pemimpin itu tidak perlu yang pandai bicara, tidak harus memiliki jiwa pemimpin dan berkarisma tinggi. Cukup memiliki banyak uang, maka jabatan pun ditangan. Karena suara rakyat bisa dibeli dengan uang. Banyak juga yang mencalonkan sebagai pemimpin disuruh oleh oknum-oknum tertentu. Agar mereka bisa melancarkan aksi di belakangnya.

Kita tidak perlu hawatir dengan fenomena seperti ini. Karena masih banyak calon pemimpin yang jujur dan adil. Tanpa mengiming-imingi uang atau jabatan, tak perlu utang sana-sini, tanpa memberikan janji manis. Semoga mereka selalu dalam lindungan Allah, dan jika terpilih menjadi pemimpin yang amanah.

Di sini kita bisa melihat apakah seorang itu nantinya akan menjadi pemimpin yang amanah atau tidak. Bisa dilihat ketika kampanye atau sebelum pemilihan berlangsung. Apakah dilakukan dengan jujur atau curang?

Tentu saja kita berharap siapapun yang memimpin adalah orang jujur, baik, serta mensejahterakan masyarakatnya.

Sumber : Penelitian lapangan di Desa Nagrakjaya (Oktober 2018) dan Desa Cimenteng (November 2019), Kec. Curugkembar, Kab. Sukabumi

Catatan : Bukan untuk menyudutkan beberapa pihak, hanya menyampaikan keadaan lapangan yang masih sering terjadi. Mungkin di tempat lain sudah tidak ada, hanya dibeberapa tempat saja.

#Onedayonepost
#ODOPBatch7
#Nonfiksi

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku : Pesan-Pesan Cinta Untukmu

Sahabatku

Selamat Ulang Tahun Keponakanku