Menanti (Part 6)


Antara Taaruf atau Dilamar

Setahun telah berlalu, akhirnya aku lulus dengan nilai camlaude. Hari ini adalah hari yang bahagia, karena aku akan diwisuda. Perjuanganku telah berakhir, dan kini resmi menyandang gelar Magister. Rasanya seperti mimpi. Acara wisuda dilaksanakan di salah satu hotel di kotaku.

Setelah selesai acara, aku langsung pulang karena akan diadakan syukuran di rumah. Setelah sampai di rumah, aku dikejutkan dengan suara khas Bude Wati.

“Sekarang kan kamu sudah lulus Ra, jadi kapan mau menikah?” Pertanyaan yang sudah tidak asing. Karena malas menjawab, aku langsung masuk kamar. Terdengar dia mengomel.

“Huh dasar anak zaman sekarang, ditanya malah melengos. Gak sopan banget sih.”

“Makanya Bude, kalau nanya itu pikir-pikir dulu. Jangan nanya yang bikin orang sakit hati.” Terdengar Rini (adik Riri) menjawab.

“Ditanya kapan nikah masa sakit hati. Sok tahu kamu Rin, kamu itu masih bau kencur.” Jawab Bude tidak mau kalah.

“Ya iyalah Bude gak akan tahu bagaimana sakitnya ditanya seperti itu. Orang Bude gak punya anak!”

“Kurang ajar kamu Rin.”

Entah apalagi yang mereka bicarakan. Yang pasti aku senang, akhirnya ada salah satu dari keponakan Bude yang berani menjawab. Memang Rini ini orangnya ceplas-ceplos, berbeda dengan Riri yang akan memikirkan perasaan orang lain saat akan berbicara. Dan yang dikatakan Rini, benar adanya. Bude Wati sampai sekarang belum memiliki seorang anak pun. Pernah dulu mengangkat anak, tetapi kabur setelah mengetahui bahwa Bude dan Pade bukan orang tua kandungnya. Mungkin itulah alasan Bude kenapa selalu bertanya “Kapan Nikah?” setiap bertemu dengan keponakannya.

Syukuran dilaksanakan setelah magrib dengan mengadakan pengajian dan santunan anak yatim, selesai pukul sembilan malam. Setelah acara usai dan semua keluarga sudah pulang, aku beristirahat karena rasanya capek sekali. Saat ku cek ponsel, ternyata ada pesan dari Ustazah Ana
.
[Assalamualaikum. Apa kabar Ukhti Rara? Selamat atas kelulusannya, semoga ilmu yang didapatkan bisa bermanfaat. Ukhti, ada hal penting yang ingin saya sampaikan. Bisakah besok Ukhti datang ke majelis?]

Ada apa ini? Hal penting apa yang ingin disampaikan Ustazah Ana? Tidak biasanya beliau mengirim pesan secara langung. Daripada penasaran, akhirnya ku iya kan ajakan Ustazah Ana.

Besoknya sekitar pukul sembilan pagi aku minta ijin kepada ibu dan bapak untuk menemui Ustazah Ana di majelis. Karena bapak tidak pergi bekerja, jadi aku pinjam motornya agar lebih cepat sampai. Satu jam perjalanan, pukul sepuluh sampai di majelis. Ternyata sudah ada Ustazah Ana dan Ustaz Hanan (suami Ustazah Ana) yang menunggu. Buru-buru aku masuk dan mengucapkan salam. Setelah berbasa-basi, Ustazah Ana menyampaikan maksud.

Ukhti, apakah sudah memiliki calon?” Tanya Ustazah Ana.

“Eh… be… belum.” Jawabku gugup karena terkejut mendengar pertanyaan tiba-tiba tersebut.

Ustaz dan ustazah Ana saling pandang, lalu mengangguk.

“Begini Ukhti, beberapa hari lalu ada seorang ikhwan yang datang dan meminta dicarikan calon untuk taaruf.” Kata ustaz Hanan.

“Taaruf?” Tanyaku tidak percaya.

“Iya, Ukhti. Kami ingat beberapa bulan lalu orang tua Ukhti meminta untuk dicarikan calon. Nah jika Ukhti berkenan, jadi kami menawarkan untuk taaruf. Bagaimana?”

“Hmmm… Kalau tidak cocok bagaimana, ustaz?” Tanyaku.

“Taaruf ini kan proses saling mengenal sebelum menuju pernikahan. Saat taaruf ada beberapa tahap yang harus dilakukan. Nah jika cocok bisa dilanjut, namun jika tidak pun tidak apa-apa. Karena dalam taaruf tidak ada yang namanya paksaan.” Jelas Ustaz Hanan.

“Jika Ukhti masih bingung, mungkin ingin melihat dulu cv-nya? Jika sudah melihat dan membaca kemudian cocok, nanti bisa dilanjut ke tahap berikutnya.” Kata Ustazah Ana.

“Jika tidak?”

“Keputusan ada di tangan Ukhti.”

Akhirnya diputuskan aku bawa dulu cv-nya untuk dilihat. Kami akan bertemu lagi jika sudah ada keputusan. Setelah selesai aku langsung pamit dan pulang. Sesampainya di rumah aku langsung masuk ke kamar, cv itu disimpan di atas meja tanpa membukanya sedikitpun.        

Keesokan harinya, aku tidak ingat sama sekali dengaan cv yang kemarin diberikan Ustazah Ana, jadi aku belum menyentuhnya sama sekali. Setelah selesai salat duha dan membaca al-Quran, pintu kamar diketuk.

Tok… Tok… Tok…

“Ra, salatnya sudah belum? Kalau sudah keluar dulu Nak, Ibu dan Bapak mau bicara!” Panggil Ibu dari balik pintu.

“Iya, Bu.” Jawabku.

Tumben sudah dua hari Bapak tidak kerja. Kenapa ya? Mungkin ingin istirahat saja. Setelah melipat mukena dan menyimpan al-Quran, aku segera keluar. Tak ingin membiarkan dua orang yang aku sayang terlalu lama menunggu. Terlihat Bapak dan Ibu sudah duduk di kursi ruang depan. Tiba-tiba jantungku berdebar, rasanya tegang.

“Bapak, tumben gak kerja?” Tanyaku basa-basi menutupi ketegangan.

“Iya Nak, Bapak ijin dulu.”

“Ada apa Pak, Bu? Tidak biasanya memanggil Rara, pagi-pagi begini.” Tanyaku.

“Ada yang ingin Bapak dan Ibu bicarakan, Nak. Ini sangat penting.”

“Apa sih Pak, aku penasara nih?”

Bapak dan Ibu tertawa, ”Sabar Nak. Mending duduk dulu.”

Aku duduk di samping Ibu.

“Jadi begini, kemarin ada teman Bapak datang ke rumah dan melamar kamu untuk anaknya.”

“Apa? Lamar?” Tanyaku terkejut. “Terus Bapak terima?”

“Ya Bapak terima.” Jawab Bapak santai.

“Kenapa langsung terima, Pak? Kenapa tidak tanya Rara dulu?”

“Karena Bapak tahu mereka itu keluarga baik-baik. Anaknya juga lulusan luar negeri, pintar mengaji dan penghafal al-Quran.”

“Tapi aku tidak kenal, Pak.”

“Dia mengatakan kalau kalian pernah bertemu. Bapak yakin dia adalah jodoh yang terbaik buat kamu. Bahkan Bapak sudah mengujinya dengan menanyakan beberapa hal yang mungkin tidak bisa dijawab atau dilakukan sembarang orang, namun ternyata dia bisa. Bagaimana Nak?”

“Kalau memang menurut Bapak itu yang terbaik untuk Rara, Rara ikut saja Pak.” Jawabku menyerah. 

Aku percaya pilihan orang tua itu tidak akan salah dan yang terbaik, karena mereka tidak akan menjerumuskan anaknya.
       
Setelah percakapan kami selesai, aku langsung pergi ke kamar. Saat ku lirik meja, aku melihat cv. Oh iya, dari kemarin aku belum membukanya. Aku penasaran, siapa yang ada di balik cv tersebut. Aku coba buka pelan-pelan, dan kulihat foto yang aku kenal dan nama yang tidak asing.

“Kak Fahmi!” Seketika aku lemas.

Ternyata ikhwan yang mengajak taaruf itu Kak Fahmi. Seorang yang selalu ku sebut namanya setiap sepertiga malam. Seorang yang selama ini aku berusaha untuk mengikhlaskan. Ternyata dia mengajukan taaruf. Ya Allah, kenapa ini terjadi? Seandainya aku buka dari kemarin dan tahu bahwa itu kak Fahmi, mungkin ada alasan untuk menolak lamaran teman bapak. Namun nasi sudah menjadi bubur, sekarang aku sudah setuju dengan lamaran tersebut. Tidak, aku tidak boleh berandai-andai. Semua sudah ditakdirkan, aku harus menerimanya.

Ku kirimkan pesan kepada Ustazah Ana.

[Assalamualaikum. Ustazah, ana ingin bertemu, bisakah?]

[Waalaikumussalam wr. Baik Ukhti. Kapan bisa bertemu?] Balas Ustazah Ana.


[Kalau nanti sore, bagaimana?]

[Baik Ukhti]

Setelah salat asar, aku langsung menuju majelis untuk menemui Ustazah Ana. Seperti biasa Ustazah Ana sudah menuggu, namun hanya sendiri tidak ditemani Ustaz Hanan.

“Ada apa Ukhti?” Tanya Ustazah Ana.

“Ustazah, mohon maaf sebelumnya. Sepertinya saya tidak bisa melanjutkan taaruf.” Kataku, rasanya ada yang sakit di relung hati terdalam.

“Kalau boleh tahu, alasannya kenapa Ukhti?” Tanya Ustazah.

“Jadi ada teman Bapak datang dan melamar. Bapak menerima lamaran tersebut, dan ana baru mengetahuinya Ustazah. Ana tidak bisa membantah orang tua.” Jawabku.

“Baiklah Ukhti, tidak apa-apa. Semoga pilihan orang tua Ukhti merupakan pilihan Allah yang terbaik untuk Ukhti. Segala sesuatu tidak ada yang kebetulan, semua sudah ditakdirkan.”

“Iya Ustazah, syukron.”

AfwanUkhti!”

Setelah urusanku dengan Ustazah selesai, aku langsung pulang karena waktu sudah sore dan sebentar lagi magrib.

‘Ya Allah, semoga ini adalah keputusan yang terbaik. Kuatkan dan ikhlaskan hati hamba.' Tanpa terasa, air mata pun turun tanpa permisi.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku : Pesan-Pesan Cinta Untukmu

Sahabatku

Selamat Ulang Tahun Keponakanku