Menanti (Part 7–Last Part)

Pernikahan Impian

Teladan Cinta

Waktu terus berlalu. Tak terasa, tibalah hari dimana pernikahanku akan dilangsungkan. Namun sampai sekarang, belum mengetahui siapa calon suamiku. Jangankan melihat orang atau fotonya, sekedar namanya saja belum tahu. Yang mengurus semua surat dan berkas  ke KUA adalah Bapak. Entah apa maksudnya? Mungkinkah ada sesuatu yang mereka sembunyikan?

Sempat berpikir bahwa calonku ini orangnya jelek, pendek, hitam, giginya tonggos, di pipi ada tompel, rambut yang klimis, culun, pokoknya jauh sekali dari yang disebut laki-laki idaman. Mungkin karena itulah Bapak dan Ibu tidak memberitahu siapa si calon itu, hanya sekedar melihat fotonya saja tidak diperkenankan karena takut aku akan membatalkan. Tetapi ku hapus kembali pikiran itu, mana mungkin Bapak setega itu padaku. Mungkin saja ada hal lain yang belum boleh aku ketahui.

Setelah didandani aku diam di kamar, katanya tidak boleh dulu keluar sebelum ijab kabul dilaksanakan. Membuatku semakin penasaran. Kadang ada keraguan dalam hati. Pikiranpun kembali berkecamuk. Bahkan pikiran negatif kembali datang. Bagaimana jika dia bukan orang baik-baik? Bagaimana jika dia menyiksaku? Apakah orangtuanya bisa menerimaku? Pikiran-pikiran itu terus berputar. Sampai ku dengar pintu terbuka, dan masuklah Riri, Rini dan Ratna.

“Aduh, kok pengantin kita mukanya muram sih. Ada apa?” Tanya Ratna dengan candaannya yang khas.

“Aku takut.” Jawabku.

“Takut kenapa, Ra?” Gilian Riri yang bertanya dengan suaranya yang lembut.

“Aku takut kalau dia tidak sesuai dengan yang diharapkan.” Jawabku sekenanya.

“Lah kenapa takut? Orang dia ganteng banget. Kalau Kak Rara gak mau, biar aku aja yang jadi pengantinnya. Kaya yang viral itu loh kak di grup kepenulisan, namanya pengantin pengganti. Aku mau kok.” Kata Rini sambil tertawa.

“Rini, kamu itu masih kecil jangan mikir yang macam-macam.” Bentak Riri sambil menjewer adiknya.

“Siapa bilang aku anak kecil, Kak? Aku sebentar lagi lulus SMA loh.” Jawab Rini.

“Iya ya benar, kamu sebentar lagi lulus SMA. Berarti harus siap-siap dong.” Kata Ratna

“Siap-siap apa?” Tanya Rini bingung.

“Siap-siap menjawab pertanyaan Bude Wati.” Jawab kami serentak. Rini cemberut.

Waktu rasanya berjalan sangat lambat. Pukul delapan terdengar rombongan pengantin laki-laki sudah datang, aku ingin melihat namun tidak diperbolehkan. Riri, Ratna dan Rini malah keluar meninggalkanku, menyebalkan. Tak berselang lama, aku mendengar suara yang tidak asing melantunkan Surat ar-rahman. Ya, itu adalah suara yang aku rindukan. Suara yang setahun lalu telah menggetarkan hati dan mendebarkan jantungku. Tapi kenapa aku mendengar suara itu? Sepertinya aku berhalusinasi.

Saat ijab kabul dilaksanakan, aku tidak fokus dan tidak bisa mendengar jelas karena masih memikirkan suara tadi. Apa benar itu suara dia? Mungkin hanya halusinasiku, atau ada orang yang memiliki suara yang mirip. Entahlah aku bingung, tanpa terasa bulir bening jatuh ke pipi. Tiba-tiba pintu dibuka. Masuklah Riri dan Ratna. 

“Loh kok nangis. Jangan nangis dong, nanti make-upnya luntur.” Kata Ratna menghibur.

“Ayo kita keluar!” Ajak Riri.

Riri dan Ratna menuntunku keluar. Kemudian aku didudukan di samping laki-laki yang duduk di depan penghulu. Saat aku melirik, pandangan kami beradu.

‘Kak Fahmi’ batinku.

Lagi-lagi aku berhalusinasi. Bahkan setelah akad diucapkan dan duduk berdampingan, kenapa aku masih membayangkan laki-laki itu. Padahal laki-laki di samping telah sah menjadi suamiku, tapi kenapa masih membayangkannya. Tidak, aku tidak boleh seperti itu. Bagaimana mungkin aku hidup dengan seorang laki-laki, sedangkan yang dibayangkan adalah lelaki lain. Aku harus ikhlas, harus terima kalau saat ini telah menjadi istri orang. Aku harus menghilangkan segala pikiran tentang kak Fahmi. Aku tak mampu memandangnya, aku terus menunduk.

“Hei, angkat kepalamu. Tidak kah kau ingin melihat suamimu?” Kata laki-laki di sampingku.

Untuk beberapa saat aku masih bergeming. Dia menyentuh daguku dan mengangkat wajahku. Deg… yang kulihat adalah kak Fahmi lagi. Kenapa ini? Apa yang terjadi?

“Apa Kabar, Rara? Masih ingat aku?” Tanyanya.

“Kak… Kak Fahmi!” Jawabku terbata-bata.

“Rupanya kamu masih ingat. Aku bingung kenapa kamu dari tadi menunduk. Apa kamu menyesal menikah denganku?” Tanyanya lagi.

“Itu… a… aku…”

“Nanti saja penjelasannnya. Kita lanjutkan dulu acaranya.” Katanya.

Ternyata aku tidak berhalusinasi, suara tadi adalah suara Kak Fahmi, dan laki-laki di sampingku benar dia. Bagaimana bisa? Rasanya masih tidak percaya bahwa itu benar-benar dia. Padahal aku sudah menolak taaruf yang diajukannya. Aku tidak mengerti dengan apa yang terjadi. 

“Jangan dipikirkan, nikmati dulu saja acaranya.” Katanya tiba-tiba.

"Bagaimana, Ra? Terkejut kan? Selamat ya, akhirnya orang yang kamu impikan ada di sampingmu." Bisik Ratna yang duduk di belakangku.

Acara terus berlangsung, resepsi dilaksanakan sampai sore. Setelah acara selesai, beberapa keluarga dan teman yang membantu pamit pulang. Kak Fahmi mengajakku pergi ke kamar karena dan berjanji akan menjelaskan semuanya. Kami duduk di tepi ranjang.

“Kak, sekarang jelaskan semuanya. Bagaimana kakak yang taarufnya aku tolak karena bapak menerima lamaran temannya, sekarang ada dihadapanku?” Tanyaku.

“Sebenarnya aku tidak tahu, kalau adek yang menerima cv itu.” Jawabnya.

“Maksudnya bagaimana?”

“Jadi waktu itu Kakak menemui Ustaz Hanan untuk minta dicarikan calon. Ustaz memintaku menyerahkan cv. Besoknya bertemu dengan Riyan dan istrinya. Kakak ceritakan awal pertama melihat Adek dan bagaimana perasaan Kakak. Adek tahu apa yang mereka katakana?”

“Apa?” Tanyaku penasaran.

“Kata Riyan, kalau perasaan kakak benar-benar tulus, kenapa gak langsung lamar saja. awalnya bingung, karena saat itu sudah menyerahkan cv taaruf. Tapi kata Riri, cv taaruf bisa diambil kembali selama belum diserahkan atau belum ada kesepakatan untuk lanjut. Akhirnya sehari setelah adek wisuda kakak ke rumah untuk menemui Bapak sekaligus melamar. Walaupun harus dites berbagai hal, Alhamdulillah kakak diterima. Setelah dari rumah Adek, Kakak menemui Ustaz Hanan, kata beliau cv itu sudah diserahkan kepada seorang akhwat dan tinggal menunggu jawaban. Otomatis makin bingung.”

“Lalu?”

“Keesokan malamnya, Ustaz Hanan menelepon dan mengatakan bahwa akhwat itu menolak taaruf karena sudah dijodohkan. Bersyukur itulah yang dirasakan.”

“Ditolak taaruf, malah seneng.” Kataku.

“Yang penting lamaran diterima.” Katanya sambil menaikkan sebelah alis. "Walaupun sempat takut kalau Adek menolak." Lanjutnya.

"Awalnya memang ingin menolak, tapi kasian Bapak."

Dia menjelaskan semuanya tanpa ada yang terlewat.

“Lalu kenapa aku tidak diberitahu siapa calonku? Bahkan hanya foto atau nama saja tidak. Kakak tahu? Aku sempat berpikir yang macam-macam.”

“Berpikir kalau aku jelek, hitam, pendek, bukan lelakiidamaan. Benar begitu?”

“Da… Dari mana kakak tahu?”

“Coba ingat-ingat, kepada siapa kamu pernah bercerita?”

“Ratna. Iya Ratna, hanya dia yang tahu. Apaka berarti?”

“Iya benar.”

“Bagaimana bisa?”

“Setelah bertemu Riyan dan Riri, tanpa sengaja bertemu Ratna dan Andri. Kakak ingat pernah mendengar obrolah Adek dan Ratna setahun lalu. Kakak coba tanyakan, dan jawabannya membuat kakak memantapkan hati untuk melamar Adek.”

“Tapi kenapa tidak ada yang memberitahuku kalau itu Kakak?” Aku masih penasaran.

“Kejutan. Itulah yang mereka katakan.”

“Ah menyebalkan ternyata.”

“Menyebakan tapi menyenangkan, iya kan?” Katanya sambil menggoda. Aku haya tersenyum.

Ya, sangat menyenangkan. Ternyata mimpiku menjadi kenyataan. Dirinya yang selama ini ku harapkan, suaranya yang selalu menyejukkan, namanya yang selalu ku sebut dalam doa disepertiga malam, dia yang selalu mengisi hati., dan dia yang beberapa waktu lalu taarufnya ku tolak. Kini kami dipersatukan dalam sebuah ikatan bernama pernikahan. 

Benar, rencana Allah lebih indah. Tidak ada sesuatu yang kebetulan, semuanya telah ditakdirkan. Takdir mempertemukan kami kembali dalam "Pernikahan Impian", setelah setahun mencoba saling mengikhlaskan. Alhamdulillah...

Selesai...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sahabatku

Selamat Ulang Tahun Keponakanku

Resensi Buku : Pesan-Pesan Cinta Untukmu