Bawang Merah dan Bawang Bombay 1

Di sebuah Desa, hiduplah dua orang kakak beradik, mereka adalah Bawang Merah dan Bawang Putih. Ibu kandung Bawang Merah (yang merupakan ibu tiri Bawang Putih) telah meninggal beberapa bulan lalu karena penyakit yang dideritanya. Meskipun kini mereka hidup berdua, namun sifat Bawang Merah masih belum berubah, dia tetap sombong dan kasar. Apalagi kecantikan Bawang Putih semakin hari semakin terlihat, membuat Bawang Merah iri dan selalu mencari cara agar kecantikan Bawang Putih tidak tampak.

Setiap hari yang dikerjakan Merah hanya berdandan dan bermalas-malasan, tidak pernah sekalipun membantu pekerjaan Putih. Putih harus memasak, mencuci, membersihkan seluruh rumah, belanja ke pasar, ditambah lagi harus mengurus tanaman sayur yang nantinya setelah dipanen di jual untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Meskipun sering kelelahan, kepanasan dan tidak pernah berdandan, kecantikan Putih tidak pernah pudar. Ini membuat Merah semakin iri dan tidak rela jika kecantikannya tekalahkan.

Suatu hari Merah meminta Putih untuk memasak makanan yang enak dan mewah.

“Putih, aku mau makan makanan yang enak dan mewah, sekarang kamu pergi ke pasar dan masak untukku!” perintah Merah.

“Tapi kak, kita harus berhemat. Belum waktunya panen, jadi belum ada yang bisa dijual. Jika uang kita habis, maka kita akan kelaparan.” Jawab Putih.

“Sudahlah Putih, kamu tidak boleh membantah perintah. Saya ini kakakmu, sudah sepantasnya kamu menuruti semua yang saya katakan. Cepat pergi!” Kata Merah lagi.

“Ba… Baik kak.” Jawab Putih, lalu pergi.

Saat menuju pasar, diperjalanan ada beberapa preman yang mencegat Putih. Dia ketakutan dan berusaha lari, tapi dihadang. Mereka terus mengganggu, Putih semakin ketakutan. Tiba-tiba ada seorang pemuda yang menyelamatkan, dia bernama Kertayasa. Saat dia melihat Putih, langsung jatuh cinta pada pandangan pertama. Dia menawarkan diri untuk menemaninya karena khawatir preman-preman itu mengganggu kembali. Tidak hanya menemani ke pasar, Kertayasa juga mengantarkan sampai ke rumah.

Beberapa hari telah berlalu sejak kejadian diganggu preman. Suatu hari Kertayasa datang ke rumah Putih untuk menemuinya. Saat itu Merah sedang ada di ruang depan dan melihat kedatangan Kertayasa. ‘Wah tampan sekali laki-laki itu. Siapa dia? Apakah mungkin dia ingin menemuiku? Saya harus menemuinya.’ Batin Merah. Lalu dia keluar menemui Kertayasa.

“Maaf, siapa anda?” Tanya Merah.

“Saya Kertayasa.” Jawab Kertayasa

“Ada keperuan apa sehingga anda datang ke rumah saya?” Tanya Merah kembali.

“Maksud kedatangan saya ke sini karena ingin bertemu dengan Bawang Putih. Apakah dia ada di rumah?” Tanya Kertayasa kembali.

‘Putih lagi, Putih lagi, Putih aja terus,’ batin Merah kesal.

“Tidak ada. Dia tidak di rumah” jawabnya dengan ketus.

“Kemana?” Tanya Kertayasa.

“Mana saya tahu dia kemana, bukan urusan saya. Permisi.” merah masuk ke rumah sambil menutup pintu dengan keras. Kertayasa langsung pergi.

Putih yang sedang di dapur mendengar pintu yang dibanting dan langsung keluar.

“Ada apa kak? Apakah ada yang datang?” Tanya Putih.

“Tidak ada. Hanya pengemis.” Jawab Merah dengan marah.

“Oh.” Balas Putih.

Tiba waktunya Putih menjual sayur yang ditanamnya. Dia pergi ke pasar sendiri karena Merah tidak penah mau menemaninya. Di pasar dia bertemu dengan Kertayasa. Pemuda itu menanyakan keadaannya dan menceritakan kedatangannya ke rumah Putih, namun selalu disambut oleh seorang perempuan dan mengatakan bahwa dirinya tidak ada. Putih tidak pernah tahu kedatangan Kertayasa, karena Merah tidak pernah menceritakannya.

Setiap ke pasar mereka selalu bertemu, baik saat belanja ataupun menjual sayuran. Karena sering bertemu, akhirnya cinta di hati mereka semakin tumbuh subur. Kertayasa bermaksud untuk untuk melamar dan menikahi Putih.
Pada malam yang telah ditentukan, Kertayasa datang ke rumah Putih untuk melamar. Di sana dia disambut dengan baik oleh Putih, tapi tidak dengan Merah. Lamaran Kertayasa diterima dengan syarat mereka harus tetap tinggal di rumahnya. Selain rumah itu adalah peninggalan ayahnya, dia juga tidak tega jika harus meninggalkan kakaknya sendiri. Kertayasa menyetujuinya. Tidak lama penikahan pun dilangsungkan dengan sedehana.

Putih dan Kertayasa bahagia. Tapi tidak dengan Merah, dia merasa kesal dan iri karena dia juga menyukai Kertayasa sejak pertama melihatnya. ‘Seharusnya sayalah yang bersanding dengan Kertayasa, bukan Putih,’ batinnya. Lama-kelamaan dia semakin dendam kepada Putih, dan beniat mencari cara untuk memisahan mereka.

Berbagai cara telah dilakukan, namun selalu gagal. Saat Kertayasa tidak ada, Merah menumpahkan semua pekerjaan kepada Putih. Saat Kertaysa di rumah, Merah mengerjakan semua pekerjaan bahkan kadang meminta adiknya untuk istirahat saja. Tujuannya untuk mendapatkan perhatian dari Kertayasa.

Setelah beberapa bulan menikah, Putih mengandung. Perhatian Kertayasa semakin bertambah, Merah semakin meradang. Dia sering uring-uringan dan marah-marah sendiri di kamar karena kesal melihat kemesraan mereka.

Merah tahu orang hamil tidak boleh kelelahan ataupun mengangkat beban berat. Setiap Kertayasa pergi, dia selalu membuat Putih mengerjakan semua hal yang berat agar kelelahan dan kandungannya terganggu. Tapi Putih tetap mengerjakan yang diminta dengan sabar dan ikhlas.

Sembilan bulan telah berlalu, perkiraan hari lahir semakin dekat. Suatu malam Putih memanggil suaminya ke kamar untuk berbicara serius.

“Ada apa sayang? Tumben tidak seperti biasanya, kangen ya!” Goda Kertayasa.

Yang digoda hanya tersenyum, tanpa merespon.

“Ada apa sayang? Apakah ada yang sakit?” Tanya Kertayasa khawatir, karena tidak seperti biasanya Putih tidak merespon godaannya.

“Kang, saya ingin bicara sesuatu. Tapi akang jangan marah ya!” kata Putih.

“Iya sayang. Memangnya kapan Kakang marah kepada istri kakang yang cantik ini?” Goda Kertayasa lagi. Putih tersenyum malu.

“Kang, saya punya permintaan. Kakang mau kan mengabulkan?” tanya Putih.

“Apa itu sayang? Jika Kakang mampu, pasti dikabulkan.” Jawab Kertayasa.

“Kakang, saya merasa waktunya telah tiba. Jika nanti saya pergi, titip anak kita Kang. Namakan dia Bawang Bombay.” Kata Putih.

“Kamu bicara apa? Kamu tidak akan kemana-mana.” Kertayasa khawatir.

“Kang, menikahlah dengan kakakku, Bawang Merah,” pinta Putih.

“Tidak sayang, mana mungkin saya menikah dengan orang yang selama ini telah menyakitimu.” Kertayasa tidak setuju.

“Tapi anak kita butuh sosok seorang ibu, Kang. Saya tidak mau dia tumbuh tanpa kasih sayang seorang ibu. Saya tahu bagaimana rasanya,” jawab Putih.

“Tapi kenapa harus Bawang Merah? Dia selalu jahat padamu, jadi tidak mungkin jika dia bisa menyayangi anak kita.” Jawab Kertayasa.

“Dia satu-satunya saudaraku Kang. Saat saya tiada, dia hanya sebatang kara. Saya lihat di matanya ada cinta utukmu, dan pasti diapun akan menyayangi anak kita. Bukankah setiap orang berhak diberi kesempatan? Saya yakin kak Merah akan berubah. Saya mohon Kang.” Putih menetaskan air mata.

“Baiklah jika itu maumu.” Jawab Kertayasa dan Putih tersenyum.

Lalu Putih memanggil kakaknya.

“Kak, mau kan mengabulkan permintaanku?” Tanya Putih.

“Permintaan apa?” kata Merah, penasaran.

“Jika saya pergi, kakak mau kan menikah dengan Kakang Kertayasa?” Pinta Putih.

“Menikah?” Tanya merah tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Putih mengangguk. Merah tersenyum dan melirik Kertayasa, yang dilirik memalingkan muka.

‘Akhirnya, tanpa susah payah menyingirkan Putih. Aku bisa juga menikah dengan Kertayasa’ batin  Merah.

“Ada satu permintaan lagi.” Kata Putih.

“Apa?” Tanya Merah.

“Tolong kakak jaga anak kami, sayangi dia seperti anak Kakak. Mau kan Kak?”

“Iya pasti. Saya akan menjaga dan menyayanginya. Walau bagaimana pun anak ini adalah keponakanku. Dan jika saya nikah dengan Kertayasa, otomatis dia jadi anakku juga.” kata Merah.

“iya Kak, terimakasih.” Putih tersenyum senang.

Keesokan harinya Putih melahirkan dibantu oleh dukun beranak. Namun karena pendarahan yang sangat banyak, nyawanya tidak tertolong. Dia meninggal dalam perjuangannya melahirkan buah hati. Kertayasa menangis karena kepergian istrinya. Sedangkan Merah merasa sedih juga bahagia. Sedih karena Putih merupakan saudara satu-satunya, bahagia karena akhirnya bisa menikah dengan Kertayasa. Dia janji akan membesarkan anak Putih dengan sebaik-baiknya. Sesuai permintaan Putih, anak itu diberi nama Bawang Bombay.

*Bersambung

#OneDayOnePost
#OdopBatch7
#Grup Kairo
#TantanganPekan4

Cerita ini terinspirasi dari Cerita Bawang Merah dan Bawang Putih untuk menyelesaikan tantangan pekan 4 ODOP Batch7

Baca kelanjutan cerita di Bawang Merah dan Bawang Bombay 2

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Buku Infinity of Love

Review Tokoh: Asa, Malaikat Mungilku

Ubah Tanya dengan Doa